Tegakkan Kebebasan Pers: Pengusiran Wartawan di Bandung Langgar UU No. 40 Tahun 1999 Kebebasan Pers dan UU No. 40 Tahun 1999 Terabaikan di Jawa Barat Kebebasan Pers Terkikis: Pengusiran Wartawan di Bandung Melanggar Undang-Undang

Advertisements

Bandung,-  Temporatur.com. com

Baru-baru ini, sejumlah wartawan yang sedang melakukan peliputan di sebuah hotel di kawasan Setiabudi, Lembang, Kota Bandung, mengalami tindakan pengusiran oleh oknum keamanan hotel X. Menurut keterangan dari sumber media, wartawan tersebut melaporkan kepada atasannya untuk dibuatkan berita terkait penekanan dan pengusiran yang mereka alami saat meliput di hotel tersebut.

Advertisements

Seorang wartawan yang enggan disebutkan namanya menjelaskan, “Saya datang ke sini untuk mencari informasi atau berita terbaru di tempat ini. Namun, saya justru diminta pergi dan diusir dari lokasi tersebut, padahal kegiatan ini berlangsung di tempat yang kami anggap terbuka untuk umum.”

Kejadian bermula ketika seorang satpam hotel mendekati para wartawan yang hendak meliput kegiatan internal anggota Dewan Kabupaten Garut. Satpam tersebut dengan nada tegas meminta para wartawan keluar dari ruangan, atas perintah dari anggota Dewan yang sedang mengadakan rapat tertutup. “Silakan keluar dari ruangan ini, karena acara ini tidak menginginkan kehadiran wartawan. Jika tidak diundang, dilarang meliput,” ujarnya.

Spontan, para wartawan merasa kecewa dan kurang simpati terhadap sikap satpam yang dirasa kurang bersahabat. Satpam tersebut berdalih bahwa ia hanya menjalankan perintah dari anggota Dewan yang menginginkan privasi selama rapat berlangsung.

Sebagai wartawan, mereka merasa tidak seharusnya dihalangi atau diusir saat menjalankan tugas peliputan, terlepas dari apakah acara tersebut bersifat internal atau umum. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi landasan hukum bagi mereka dalam menjalankan profesinya, yang memberikan hak dan kebebasan untuk meliput informasi publik.

Jika terdapat pejabat publik yang mencoba mengintimidasi atau menghalangi kerja jurnalistik, UU tersebut juga mengatur sanksi berupa denda sebesar Rp500 juta dan hukuman penjara hingga 2 tahun. Kasus ini menunjukkan masih adanya pejabat yang mungkin belum memahami secara menyeluruh peran dan tugas jurnalis yang dilindungi oleh undang-undang.

Redaksi berharap, para pejabat dan penyelenggara kegiatan dapat memahami pentingnya kebebasan pers dalam menjamin keterbukaan informasi kepada publik. Semua kegiatan publik, baik internal maupun eksternal, seharusnya terbuka untuk diliput oleh media, kecuali ada alasan hukum yang jelas untuk membatasi akses tersebut.

Jurnalis memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang objektif dan akurat kepada masyarakat tentang kegiatan para pemimpin dan pejabat publik. Oleh karena itu, tindakan menghalangi kerja pers tidak hanya melanggar hak-hak wartawan, tetapi juga merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan informasi.

Redaksi juga menegaskan bahwa jika terdapat pejabat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, sebaiknya dilakukan klarifikasi melalui prosedur yang baik dan bertanggung jawab, bukan dengan tindakan intimidatif. Hal ini penting agar terjalin hubungan yang baik antara media dan para pemangku kepentingan dalam menjalankan fungsi kontrol sosial.

Mari kita junjung tinggi kebebasan pers dan keterbukaan informasi demi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Ref. (Widia mona)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *