Larangan Wartawan Liput Perdamaian Kasus di Polres Subulussalam Dinilai Langgar UU Pers dan UU KIP
Subulussalam, Aceh – Temporatur.com
Insiden pelarangan wartawan dalam meliput aksi perdamaian antara korban dan tersangka kasus pelecehan seksual anak di bawah umur di Polres Subulussalam pada 21 September 2025 menimbulkan gelombang kritik dari berbagai pihak. Peristiwa ini bukan hanya melukai hati insan pers, tetapi juga mencederai prinsip transparansi publik yang menjadi salah satu fondasi utama demokrasi.
Dalam kejadian tersebut, Kanit PPA Polres Subulussalam disebut hanya mengizinkan pihak korban dan keluarga tersangka masuk ke ruang pertemuan. Awak media yang hadir tidak diberikan akses, bahkan sempat diusir dengan nada membentak. Sikap represif ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang ingin ditutupi dengan menutup akses media?
Pelanggaran Hukum yang Nyata
Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 5: menegaskan tidak boleh ada sensor atau pelarangan terhadap pers nasional.
Pasal 18 ayat (1): setiap orang yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana.
2. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Setiap badan publik, termasuk kepolisian, berkewajiban membuka akses informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
Kasus pelecehan seksual anak bukan perkara privat semata, melainkan isu serius yang menyangkut kepentingan publik. Publik berhak mengetahui jalannya proses hukum maupun upaya perdamaian, termasuk transparansi aparat penegak hukum dalam menanganinya.
Kritik dari Praktisi Hukum dan Media
Praktisi hukum sekaligus Pemimpin Redaksi Media Aktivis Indonesia, Herry Setiawan, SH., menilai tindakan Kanit PPA sebagai bentuk kemunduran.
> “Sebagai anggota kepolisian, seharusnya memberi contoh yang baik, bukan justru menutup ruang bagi publik. Perdamaian dalam kasus ini menyangkut kepentingan masyarakat luas, publik berhak tahu,” tegas Herry.
Menurutnya, langkah Polres Subulussalam menutup akses wartawan akan semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Padahal, transparansi seharusnya menjadi komitmen utama polisi sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.
Dukungan Organisasi Mahasiswa
Respon keras juga datang dari kalangan mahasiswa. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Subulussalam, menegaskan:
“Larangan terhadap wartawan adalah tamparan keras bagi demokrasi kita. Pers adalah jantung informasi masyarakat. Jika pers dibungkam, masyarakat kehilangan haknya untuk tahu. Kami mahasiswa siap berdiri bersama pers dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas publik.”
Senada dengan itu, perwakilan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Subulussalam menambahkan:
>“Kami mengecam tindakan yang mencederai kebebasan pers. Kepolisian semestinya menjadi garda depan keterbukaan, bukan malah menutup ruang. Kami mengajak seluruh elemen pemuda dan mahasiswa untuk ikut mengawal kasus ini.”
Sikap dan Seruan Publik
Atas dasar fakta tersebut, kami menyampaikan sikap sebagai berikut:
1. Mengecam keras tindakan Kanit PPA Polres Subulussalam yang menghalangi kerja jurnalistik.
2. Menuntut pihak kepolisian menghormati UU Pers dan UU KIP dalam menjalankan tugas.
3. Mendesak agar setiap proses hukum dan perdamaian yang menyangkut kepentingan publik dilaksanakan secara terbuka dan dapat diakses media.
4. Mengajak masyarakat, organisasi mahasiswa, dan pemuda di Subulussalam untuk mengawal kebebasan pers serta menolak segala bentuk pembungkaman informasi.
Penutup
Kebebasan pers bukan sekadar hak wartawan, tetapi juga hak masyarakat luas untuk memperoleh informasi yang benar, transparan, dan bertanggung jawab. Setiap upaya pembungkaman terhadap pers adalah ancaman langsung bagi demokrasi dan hak asasi warga negara.
(Red)