Membangun Gerakan Kesadaran dan Pemahaman Spiritual Untuk Tatanan Peradaban Dunia Baru

Advertisements

 

Oleh : Jacob Ereste

Manusia yang pintar di Indonesia sepertinya sudah terlalu banyak, tapi yang punya hati nurani dan sentuhan kemanusiaan semakin langka. Fenomenanya ditandai oleh tindak kejahatan kerah putih yang ada di bilik perkantoran mewah.

Advertisements

Karena mereka mengumbar ketamakan dan kerakusan hingga uang rakyat tega mereka ditilep. Bahkan tindak kejahatan yang lebih sadis dan keji demikian gampang dan entengnya mereka lakukan seperti tiada timbang rasa dan tak takut pada dosa dan karma.

Dan azab pun yang sudah mendera mereka — seperti terkena pada anak, istri bahkan cucu — seakan dianggap takdir yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan keji dan kekejaman yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Agaknya seperti itulah keambrugian etika, moral dan akhlak manusia yang pada dasar awalnya memiliki sikap dan sifat illahiah, karena memang telah ditetapkan Allah sebagai khalifah di muka bumi.

Sebagai makhluk yang paling mulia, kini nilainya merosot berada jauh dibawah titik nol. Sebab kekejian demi kekejian terus dibiarkan bertumbuh liar, hingga rasa iri dan dengki pun yang tidak perlu dimunculkan tampil menjadi bagian dari keasyikan tersendiri. Karena itu, korupsi pun semakin membudaya, lantaran ingin kaya raya secepatnya dengan jalan pintas. Cilakanya birahi kerakusan dan ketamakan ini juga dipacu oleh lingkungan, utamanya keluarga yang selalu mengukur semua bentuk keberhasilan itu adalah kejayaan semata. Tingkat pendidikan pun kalah pamor dengan segenap kemewahan yang bisa dimiliki.

Bahkan, tidak sedikit diantaranya yang beranggapan pendidikan itu tidak lagi penting, karena yang telah dijadikan takaran adalah materi. Akibatnya tentu saja, perkawinan pun yang harus penuh muatan kesakralan itu pun takarannya juga adalah materi. Kasus perceraian dalam rumah tanggapun dominan disebabkan oleh kekayaan yang dianggap tidak memadai. Bahkan perpecahan dalam keluarga pun tidak sedikit akibat oleh warisan — termasuk warisan kekuasaan yang sudah menjadi tradisi turun temurun, utamanya dari kalangan keraton yang pernah berjaya pada masa lalu.

Merosotnya nilai etika tidak hanya sebatas unggah unggu dari mereka yang muda terhadap yang muda, tapi masalahnya tak banyak berbeda dari yang tua terhadap mereka yang muda. Seakan-akan persaingan dalam tata krama etika itu seperti harus saling mengganggu antara yang satu dengan yang lain.

Perkara moral pun tampak semakin canggih didandani dengan topeng agama bahkan dikamuflase dengan acara mupun semacam upacara-upacara keagamaan yang dibangun sedemikian indah dan cantik hingga mampu memukau dan mempesona orang lain. Inilah awal munculnya budaya pencitraan yang tampak marak saat menjelang Pilpres maupun Pilkada dan Pileg di negeri yang melegalkan kepalsuan-kepalsuan mulai dari sumpah dan janji yang merasa berdosa untuk tidak ditepati.

Budaya kepalsuan ini tampak terang dikakukan oleh mereka yang berkutat di bilik politik maupun ekonomi. Hanya sejak beberapa tahun terakhir wabah munafik dan hipokrit ini tampak terkesan telah menjalar — atau menular — pada mereka yang berada di habitat budaya dan keagamaan.

Dan penyakit serupa itu, tidak pula kecuali bagi kaum cerdik cendekia kita. Toh, suap menyuap di perguruan tinggi sudah lebih banyak contohnya yang dianggap tak lagi memalukan itu. Jadi bisa dibayangkan, budaya tipu daya, kongkalingkong, perselingkuhan intelektual dengan memperjual-belikan kesempatan terpilih menjadi rektor — apalagi sekedar sogok menyogok untuk menjadi mahasiswa atau mahasiswi di perguruan tinggi
sekarang seperti telah menjadi trend yang baru. Sikap dan etos intelektual yang lebih bersifat akademisi ambyar hingga sulit untuk diidentifikasi marwahnya yang luhur itu. Karena itu, dilingkungan akademisi sendiri tampaknya hari ini tidak lagi memerlukan mereka yang jenius, karena mereka yang dibutuhkan adalah yang masih memiliki hati, rasa malu.

Sementara jauh diujung sana, masih ada terminal moral yang harus dilalui untuk sampai pada telaga akhlak yang bisa menyejukkan tata kehidupan yang terasa makin meranggas.

Paparan ini sepenuhnya dipantik oleh dialog bersama Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu pada pelbagai kesempatan, dan hingga kini dia tetap gigih dengan gagasannya, yaitu membangun gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual bangsa Indonesia untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin dunia dalam peradaban tata dunia yang baru mulai hari ini.

Tertulis dalam Rubik Temmporatur.com

Sumber : Jacob Ereste

Banten, Kamis 26 Januari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *