Teror Pers di Aceh: Dua Wartawan Diserang Menyebabkan Anak Trauma
Aceh Tengah – Subulussalam | Temporatur.com
Dua insiden dalam sepekan terakhir mengguncang dunia pers di Aceh. Seorang wartawan dianiaya di depan anak-anaknya di Aceh Tengah. Terjadimjugi di Subulussalam, rumah wartawan lain diteror di tengah malam. Dua peristiwa berbeda, tapi nadanya sama: teror terhadap kebebasan per dan diamnya negara.
Malam Teror dan Anak-Anak yang Trauma
Senin, 7 Oktober 2025. Malam di Kampung Kuyun Uken, Kecamatan Celala, Aceh Tengah, seharusnya tenang. Tapi di rumah seorang wartawan lokal, suasana berubah mencekam. Pria itu diserang oleh orang yang diduga Reje Kampung (Kepala Desa) berinisial A. Pukulan dan teriakan menjadi tontonan paksa bagi empat anak kecil di rumah itu.
Mereka masih kecil—Muhamad Alfarezi (3,5 tahun), Ahmad Yuda (7), Diandra Alfirian (11), dan Suci Anastasya Futri (14). Kini mereka menolak tidur sendiri, takut keluar rumah, dan sering menangis tiba-tiba. Psikolog belum datang. Pemerintah belum hadir.
“Tiap malam, anak-anak itu mimpi buruk,” kata salah satu anggota keluarga korban kepada Tempo. “Kami sudah lapor, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut serius.”
Subulussalam: Mobil Dilempar Batu, Wartawan Ketakutan
Kamis dini hari, 17 Oktober 2025. Di Subulussalam, dua pria tak dikenal melempar batu ke mobil milik Syahbudin Padank, wartawan senior 1kabar.com sekaligus Wakil Ketua DPW FRN Counter Polri Aceh. Kaca mobil pecah, anak-anak menjerit ketakutan, dan para tetangga berhamburan keluar rumah.
“Ini bukan vandalisme biasa. Ini pesan teror,” kata salah satu jurnalis di Subulussalam yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini ditulis, pelaku belum tertangkap. Polisi hanya mengatakan “masih dalam penyelidikan.”
Prof. Sutan Nasomal: Demokrasi Kita Sedang Sekarat
Pakar hukum pidana internasional, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH., menyebut dua insiden ini sebagai “alarm keras atas matinya fungsi negara.”
“Kekerasan terhadap wartawan bukan sekadar tindak pidana. Ini pelanggaran terhadap konstitusi dan hak asasi manusia,” kata Prof. Sutan dalam wawancara via telepon, Jumat (18/10).
“Jika Presiden tidak bersuara, maka itu restu diam-diam atas kekerasan terhadap pers.”
Menurutnya, sikap negara yang lamban adalah bentuk pembiaran sistematis terhadap erosi demokrasi. “Wartawan adalah penjaga nalar publik. Menyerang mereka berarti menyerang hak rakyat untuk tahu.”
Trauma yang Tak Bisa Ditebus
Bagi Prof. Sutan, tanggung jawab negara tak berhenti pada penangkapan pelaku. Negara harus memulihkan trauma anak-anak korban.
“Kalau terbukti, pelaku harus dijerat pasal berlapis. Anak-anak saksi kekerasan harus mendapat pendampingan psikologis,” ujarnya.
“DP3A, LPSK, dan lembaga sosial seharusnya sudah turun sejak hari pertama.”
Namun hingga kini, tak satu pun lembaga resmi datang memberikan trauma healing. Anak-anak masih menanggung ketakutan sendirian.
Desakan untuk Presiden dan Kapolri
Prof. Sutan menyerukan langkah nyata dari Presiden Joko Widodo dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
“Ini bukan isu lokal, tapi krisis nasional. Presiden harus bersuara. Kalau diam, rakyat berhak bertanya: di pihak siapa negara berdiri?” ujarnya.
Ia mengingatkan, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan jurnalis, dan setiap tindakan kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran konstitusional.
Organisasi Pers: Jangan Tunggu Ada yang Mati
Sejumlah organisasi wartawan di Aceh juga angkat suara. Mereka menyebut dua peristiwa ini sebagai bukti bahwa aparat gagal menjamin keselamatan jurnalis.
“Jika kekerasan terhadap wartawan dibiarkan, yang mati bukan hanya profesi jurnalis, tapi juga akal sehat demokrasi,” kata salah satu perwakilan organisasi pers di Aceh Tengah.
Aceh Tengah dan Subulussalam adalah dua titik luka dalam peta kebebasan pers Indonesia. Ketika wartawan dipukul, mobilnya dirusak, dan anak-anak mereka trauma—sementara negara memilih diam—maka yang sedang mati bukan hanya keberanian individu, melainkan ruh demokrasi itu sendiri.
“Jangan tunggu wartawan mati baru negara bersuara,” tegas Prof. Sutan.
“Jangan tunggu anak-anak ini kehilangan masa depannya baru birokrasi bertindak.”
(Red)
NARASUMBER:
Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH.
Pakar Hukum Pidana Internasional