Keputusan Berpindah Partai Demi Pilkada, Perdebatan Kontroversi atau Kecerdasan Seorang Politisi
Temporatur.com, – Keputusan berpindah partai acap kali menuai kontroversi. Kontroversi tersebut sering merujuk pada perdebatan atau perselisihan pendapat dalam tubuh partai yang muncul di masyarakat atau dalam kelompok tertentu, biasanya mengenai topik yang sensitif, ambigu, atau berbeda pendapat secara tajam.
Fenomena pindah partai sering terjadi, terutama menjelang pemilu atau Pilkada. Banyak politisi yang berpindah partai untuk meningkatkan peluang elektabilitas mereka.
Hal ini dialami juga oleh dr Asep Surya Atmaja, politisi Partai Golkar inipun hengkang meninggalkan partai yang selama ini telah membesarkannya. Keputusan berpindah ke Partai Buruh, merupakan dasar alasan penerapan strategis mengapa dr Asep memilih langkah yang beresiko. dr Asep mungkin merasa bahwa partai lamanya tidak lagi mencerminkan pandangan atau prinsip politiknya.
Ketidaksepakatan dalam kebijakan partai atau perubahan arah partai dapat mendorong politisi untuk mencari rumah politik baru yang lebih sejalan dengan visi pribadinya. Seringkali, seorang politisi melihat peluang karir yang lebih baik di partai lain, terutama jika di partai lama ia merasa terhambat dan tidak diberi ruang untuk maju dalam pemilihan atau posisi strategis. Partai baru mungkin menawarkan kesempatan untuk mendapatkan jabatan maupun dukungan yang lebih besar.
Kecerdasan seorang dr Asep
Keputusan cerdas seorang politisi biasanya melibatkan keseimbangan antara kepentingan pribadi, kepentingan partai, dan kepentingan publik. Merasa partai lamanya tidak lagi sesuai dengan prinsip atau visi pribadinya, sehingga seorang politisi memilih pindah partai yang lebih sejalan dengan pandangan politiknya. Hal ini dapat menjadi strategi untuk mendapatkan dukungan dari pemilih yang lebih sesuai dengan harapannya.
Keputusan dr Asep untuk berpindah partai saat ikut Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai calon Wakil Bupati Bekasi mendampingi Ade Kuswara sebagai Calon Bupati, adalah langkah yang dianggap memiliki risiko besar, tetapi juga bisa menjadi keputusan cerdas karena dilakukan dengan perhitungan yang matang.
“Saya menyadari dari resiko semuanya. Pindah partai saat Pilkada sering kali dijadikan bahan serangan politik, terutama jika keputusan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap partai lama. Isu itu acap kali dihembus, tapi seperti yang kita ketahui bersama, saya mempunyai basis massa yang memilih saya karena mereka memang melihat saya dan bukan melihat kendaraan saya,” ucap dr Asep kala itu.
Keputusan untuk berpindah partai saat Pilkada bisa dianggap cerdas karena dilakukan dengan perhitungan matang dan dalam situasi yang tepat. Kemampuan dr Asep dalam mempertahankan citra dan kepercayaan publik menjadi nilai plus meskipun dirinya berpindah partai, sehingga perpindahan partainya malah memperkuat posisinya daripada justru melemahkannya.
“Mengelola komunikasi dan menjaga konsistensi dengan basis pemilih saya adalah langkah komitmen yang bukan hanya sekedar melihat adanya peluang untuk memenangkan Pilkada ini,” kata dr Asep.
dr Asep menjelaskan perubahan lanskap politik dalam situasi politik nasional atau regional yang terjadi, sehingga dirinya merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan partai yang lebih relevan.
“Buktinya partai lama dimana saya bernaung, kan tidak mampu mendukung kadernya sendiri, lebih memilih untuk mengusung orang lain yang memang bukan dari kaderisasi partai. Sikap yang saya ambil adalah sikap sebagai seorang politisi, dan bukan sikap pragmatis seperti yang dituduhkan,” ujarnya.
Dengan memperoleh dukungan baru, baik dari struktur partai yang lebih kuat, sumber daya kampanye yang lebih besar, bahkan basis pemilih yang lebih luas. dr Asep memantapkan dengan pembuktian jika dukungan dari basis pemilih lama yang setia pada dirinya saat berada pada partai sebelumnya, akan semakin solid dan bertambah kuat.(***)